Lompat ke isi utama

Berita

CEGAH POLITIK SARA, TINGKATKAN KERUKUNAN BERSAMA

Sumber Gambar: IDN Times/Sukma Shakti

Pemilu serentak tahun 2024, merupakan perhelatan demokrasi bagi Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diadakan setiap 5 tahun sekali. Di tahun 2024 nanti, masyarakat yang sudah memenuhi syarat sebagai pemilih akan memilih Presiden dan Wakil Presiden, DPR RI, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota, dan DPD RI. Pada tahun itu, masyarakat Indonesia menyuarakan hak mereka dalam menentukan bagaimana nasib Negara Kesatuan Republik Indonesia untuk 5 tahun mendatang. Selama tahapan menjelang Pemilu, tidak terlepas dari beberapa konflik yang berkesinambungan. Salah satunya terkait praktik politisasi SARA (Suku, Agama, Ras, Antargolongan) yang hingga saat ini masih menjadi tantangan dalam demokrasi elektoral, tidak terkecuali Pemilu Serentak tahun 2024. Menanggapi isu Politisasi SARA, masyarakat khususnya kaum muda milenial tidak bisa memandang sempit hal ini. Sebagai kaum melek intelektual, generasi milenial saat ini diharuskan untuk peka, dan tanggap dengan keadaan sekitar, misalnya akar yang memicu adanya Politisasi SARA dalam Pemilu.

Menurut Anggota Bawaslu Republik Indoneisa Herwin JH Malonda, maraknya politik identitas dengan isu SARA disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, belum tuntasnya toleransi yang disebabkan oleh penggunaan media sosial. Pemahaman yang belum tuntas soal bagaimana menjaga toleransi dan eksistensi setiap masing-masing identitas. Kedua, adanya ketimpangan sosial ekonomi dan ketiga, adanya rekayasa elite politik itu sendiri (diskusi daring bertema: Pemilu dan Pemilu Serentak Tahun 2024 sebagai Konsolidasi Demokrasi Menuju Indonesia Emas Tahun Tahun 2045 yang diselenggarakan oleh PP Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI), 2022).

Ibu Ratna Dewi Pettalolo mantan Anggota Bawaslu RI yang saat ini menjabat sebagai Anggota Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) pernah menyebutkan bahwa pada Pilkada 2020 terdapat 4 modus yang menjadi potensi politik SARA. Pertama, pidato politik yang cenderung mengarah kepada politik identitas yang bermuara pada ke isu SARA yang banyak terjadi di Pilkada DKI 2017 dan Pemilu 2019. Kedua, ceramah provokatif di tempat ibadah atau acara keagamaan. Ketiga, spanduk calon kepala daerah yang mengandung pesan verbal berkonten SARA. Terakhir, penyebaran ujaran kebencian oleh akun-akun anonim di media sosial (Kompas.com, 2020).

Panwaslu Kecamatan Simpang Pesak saat menyampaikan artikel pada kegiatan Bimbingan teknis public speaking dan kehumasan dengan tema “Membangun Kapasitas Sumber Daya Pengawas Pemilu Melalui Pelatihan Public Speaking dan Pengeloaan Kehumasan di ANJ Learning Center pada 21-22 Maret 2023.

Sebenarnya larangan politisasi SARA secara eksplisit sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 Tentang Pilkada dan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilu. Pasal 69 huruf b UU No. 10 Tahun 2016 secara tegas menyebutkan bahwa dalam kampanye dilarang menghina seseorang, agama, suku, ras, dan golongan calon kepala daerah dan atau partai politik. Pasal 69 huruf c UU No. 10 Tahun 2016 juga melarang kampanye yang menghasut, memfitnah, dan mengadu domba partai politik, perseorangan, dan atau kelompok. Pasal 280 ayat (1) UU No. 7 Tahun 2017 juga mengatur bahwa pelaksana, peserta, dan tim kampanye dilarang menghina seseorang, agama, suku, ras, golongan, calon, dan/atau peserta pemilu.

Maka dari itu, sebagai penyelenggara demokrasi ada beberapa hal yang bisa dilakukan oleh jajaran pengawas pemilu untuk meminimalisir terjadinya politisasi SARA. Pertama yaitu sektor pencegahan, Bawaslu menjalin kerjasama dengan cara membangun komunikasi dan koordinasi secara intensif dengan platform media sosial, kementerian, lembaga negara terkait, para stakeholder, dan tokoh masyarakat dengan melakukan pendekatan ke kelompok atau komunitas hingga paling bawah guna mencegah adanya kampanye yang menggunakan SARA. Kedua yaitu sektor penindakan, Kepolisian harus menindak dengan tegas bagi siapapun yang melakukan kampanye berkonten SARA. Penindakan yang tegas ini merupakan bagian dari upaya untuk mewujudkan penegakan hukum pemilu yang berkeadilan dan menjaga kerukunan bangsa. Dalam Pemilu, khususnya kampanye, perbedaan suku, agama, ras, dan golongan bukan untuk dipertentangkan, namun dapat dijadikan sebagai alat untuk mempersatukan dan menjaga kerukunan di antaranya masyarakat.

Penulis : Panwaslu Kecamatan Simpang Pesak
Editor : Dadang Surya Atmaja

NB: Artikel ini ditulis sebagai tugas dalam kegiatan bimbingan teknis public speaking dan kehumasan di ANJ Learning Center pada 21-22 Maret 2023 dan mendapatkan penilaian artikel terbaik berdasarkan keputusan panitia kegiatan.

Tag
Berita