Pemilu Tanpa “Politik Uang”; Keniscayaan atau Retorika?
|
Untuk istilah Pemilihan Umum (Pemilu) maupun Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) pada tulisan ini, coba Penulis mudahkan penyebutannya disamakan menjadi Pemilu. Apalagi di Tahun 2024, wacana serius menggabungkan Pemilu dan Pilkada menjadi Pemilu Serentak Tahun 2024 sepertinya hanya soal menunggu waktu saja. Anggap ini, sebentuk upaya memudahkan pengistilahan tersebut. Satu diantara ciri negara demokrasi adalah diselenggarakannya Pemilihan Umum (Pemilu) yang terjadwal dan berkala (IDEA, 2006). Selain itu Pemilu adalah ruang sekaligus mementum yang konstitusional untuk Pemilih memberikan “penghargaan” atau “penghukuman” kepada para kontestan Pemilu, baik kepada personal orang per orang, maupun untuk partai politik. Bagi politisi dan partai yang bekerja dengan baik, maka rakyat akan memberikannya kesempatan dalam bentuk penghargaan (baca: kepercayaan). Sedangkan untuk politisi dan partai politik yang berkinerja buruk akan diberikan hukuman (tidak dipilih kembali). Singkatnya, negara yang memilih corak pemerintahan demokrasi, maka Pemilu merupakan perwujudan dari pelaksanaan daulat rakyat.
Apa Itu Politik Uang ?
Politik Uang (Money Politic), biasa juga dipadankan dengan diistilahkan “politik perut” maupun “politik pertukaran”, atau sebaliknya. Politik uang merupakan upaya menyuap pemilih dengan memberikan uang atau jasa agar preferensi suara pemilih dapat diberikan kepada seorang penyuap (Aspinall dan Sukmajati, 2015). Ada beberapa pasal yang mengatur soal Politik Uang, baik di Undang-undang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada), maupun di Undang-undang Pemilhan Umum (Pemilu). Diantaranya, pada Pasal 73 Ayat 1 UU Nomor 1 Tahun 2015, yang berbunyi: Calon dan/atau tim Kampanye dilarang menjanjikan dan/atau memberikan uang atau materi lainnya untuk mempengaruhi Pemilih. Dan Pasal 280 Ayat 1. Huruf j UU Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilu, dengan bunyi: Pelaksana, Peserta, dan Tim Kampanye Pemilu dilarang: menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya kepada Peserta Kampanye Pemilu. Termasuk, sanksi yang berkenaan praktik politik uang pun, sudah ada dikedua perundang-undangan tersebut. Kesimpulannya, segala hal berbau pertukaran terkait dengan penyelenggaraan Pemilu yang melibatkan transaksi tidak wajar dengan pemilih, sebenarnya dapat dikategorikan dengan Politik Uang.
Politik Uang pada Konstelasi Pemilu di Belitung Timur.
Khusus untuk praktik politik uang, kalau mengadaptasi dari data dan fakta yang tercatat dan tersimpan di Bawaslu Belitung Timur, penanganan dugaan pelanggaran, dan yang terbukti secara sah dan menyakinkan serta sudah berkekuatan hukum tetap secara pengadilan, itu terjadi pada waktu pelaksanaan Pemilu Serentak Tahun 2019. Berdasarkan Putusan Pengadilan Negeri (PN) Tanjung Pandan Nomor: 25/Pid.Sus/2019/PN.Tdn, dan Putusan Nomor: 25/Pid.Sus/2019/PN.Tdn, dengan Terpidana 2 (dua) orang yang merupakan Calon Anggota Legislatif (Caleg) DPRD Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, dan Calon Anggota Legislatif (Caleg) DPRD Kabupaten Belitung Timur dari satu diantara Partai Politik Peserta Pemilu yang sama. Sepengetahuan Penulis, pada pelaksanaan Pengawasan Penyelenggaran Pemilu Serentak Tahun 2019 di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, hanya Bawaslu Belitung Timur yang ada penangangan Tindak Pidana Pemilu Politik Uang, Dan itu merupakan Temuan.
Ada pertanyaan sekaligus bahan diskusi berkenaan dengan hal diatas, apakah pada saat Penyelenggaraan Pemilu Serentak Tahun 2019 tersebut, hanya di Kabupaten Belitung Timur yang belum “bersih” dari praktek Politik Uang? Jawabannya bisa iya, bisa juga tidak. Penulis meyakini pasti akan beranjak dari de facto dan de jure, perspektif yang akan dikedepankan respon dari hal tersebut. Berpulang dari semangat dan obyektifitas kita semua, tentunya. Upaya pencegahan baik secara kuantitas maupun kualitas, sudah Bawaslu Belitung Timur lakukan seoptimal mungkin. Karena, sesungguhnya sangatlah tidaklah mudah apalagi sederhana untuk sampai melakukan Penanganan Dugaan Pelanggaran sampai ke persidangan (baca; pengadilan), dan itu satu diantara “ekspresi” penindakan. Walau sesungguhnya sedikit yang memahami, penindakan juga bagian dari upaya pencegahan (sehingga orang atau sekelompok orang, tidak melakukan hal yang sama dengan orang/ pihak yang ditindak).
Penulis meyakini, kalau diilustrasikan penindakan itu layaknya pintu darurat (emergency exits) dipesawat terbang. Tentu kita (penumpang), tidak tahu akan digunakan apa tidak pintu darurat tersebut, dan juga kita tidak tahu kapan akan digunakan pintu darurat tersebut, serta tentunya sama sekali tidak mengharapkan pintu darurat tersebut digunakan. Namun, pintu darurat tersebut tetap harus ada/ tersedia, karena disituasi dan kondisi tertentu bisa jadi pintu darurat tersebutlah yang akan “menyelamatkan” kita.
Pemilu Tanpa Politik Uang
Dua diantara 5 (lima) syarat Pemilu yang demokratis menurut Prof. Muhammad (Ketua Bawaslu RI Periode 2012-2017), yaitu Peserta Pemilu yang taat aturan, dan berikutnya Pemilih yang cerdas dan partisipatif. Kita anggap saja, syarat yang pertama yaitu regulasi jelas dan tegas, sudah terpenuhi. Sedangkan 2 (dua) syarat yang lainnya, irisan berkenaan dengan praktik politik uang dipenyelenggaraan Pemilu agak jauh, dengan katalain tidak langsung.
Politik uang dalam konteks kontestasi Pemilu, sederhananya seputar relasi dan kausalitas kuasa antara Pemilih dengan Peserta Pemilihan baik itu Calon Presiden Wakil Presiden (Capres Cawapres), Calon Anggota Legislatif (Caleg) diseluruh tingkatan, Calon Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD), dan Calon Kepala Daerah (Cakada), serta Partai Politik (Parpol) Peserta Pemilu, dengan seperangkat instrumen dan “mesin politiknya”
Benar adanya, 1 (satu) diantara tugas Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) diseluruh tingkatan menurut undang-undang, yaitu mencegah terjadinya praktik Politik Uang. Namun, bukan hanya patut tapi layak disadari, hadirnya kontestasi politik yang mana hal tersebut dinisbatkan pada penyelengaraan Pemilu yang “bersih” dari praktek Politik Uang merupakan kebutuhan (bukan hanya sebatas kepentingan) dari Pemilih (baca; masyarakat/ rakyat) itu sendiri secara keseluruhan. Dan benar pula adanya, tugas dan tanggung jawab secara konstitusional menghindarkan Pemilu dari adanya praktik Politik Uang itu ada diseluruh “organ tubuh” Bawaslu diseluruh tingkatan.
Kalau kita bersepakat, hadirnya Pemilu tanpa Politik Uang adalah suatu kebutuhan, maka upaya meminimalisir bahkan meniadakannya menjadi tanggung jawab dan “ladang amal” kita semua, sesuai peran dan porsinya masing-masing. Tentu hal tersebut, tidak hanya dibebankan ke satu diantara multipihak yang ada, termasuk ke Pengawas Pemilu itu sendiri. Hadir dan nyatanya Pemilu tanpa Politik Uang tentu berkontribusi penting pada demokrasi yang berkualitas dan bermartabat, begitu pula sebaliknya. Dalam konteks Poltik Uang yang dihubungkan dengan, tugas, wewenang dan kewajiban Bawaslu Belitung Timur, Penulis memahaminya ikhtiar terbaik yang bisa dilakukan (tanpa bermaksud meminta pemakluman/ berapologi) yaitu melakukan upaya tegas dan terukur mempersempit ruang bertemunya “Calon Penerima” dan “Calon Pemberi”, dan bermetamorfosis menjadi “Pemberi” dan “Penerima”. Karenanya sejatinya, Penerima dan Pemberi itu sama-sama pelaku praktek Politik Uang.
Mempersempit ruang dari sisi Calon Penerima (Pemilih ataupun masyarakat secara lebih luas) yang dimaksud, yaitu dengan gencar dan masif menyadartahukan akan bahayanya Politik Uang bagi Pemilu yang demokratis, berpotensi lahirnya wakil rakyat maupun pemimpin yang korup, serta berpotensi berurusan dengan hukum bahkan masuk penjara, dan seterusnya. Sedangkan mempersempit ruang dari sisi Calon Pemberi (kontestan Pemilu dan tim pemenangannya), beberapa diantaranya yaitu yaitu dengan gencar dan masif menyadartahukan bahwa praktik politik uang sangat bertentangan, bahkan merupakan pengkhianatan dengan esensi Pemilu yang demokratis, tidak mencerdaskan Pemilih/ masyarakat, pelaku berpotensi berurusan dengan hukum bahkan masuk penjara, dan seterusnya.
Mirisnya, masih didapati oknum kontestan Pemilu yang masih meyakini dan mempraktikkan politik uang itu bagian dari instrumen bahkan strategi suksesi pemenangan. Menjadi tambah nyatakan dan sempurna terjadinya politik uang, disaat Pemilih juga masih bernegosiasi dan berharap bahkan menjadikan “suara” mereka tersebut dijadikan “tawar-menawar” (transaksional dengan kompensasi materi atau nominal tertentu). Kalau pola pikir tersebut masih ada, bahkan tumbuh subur pada Penyelenggaraan Pemilu kita, Penulis “haqqul yaqin” bukan hanya Pemilu yang demokratis masih jauh untuk dicapai, bahkan Pemilu yang demokratis tidak akan pernah terwujud.
Jadi, Keniscayaan atau Retorika.
Straight to the point nya sebagai berikut; menjadi keniscayaan jika Pemilihnya cerdas dan partisipatif, serta Peserta Pemilunya taat aturan. Begitu pun sebaliknya, menjadi retorika jika satu saja diantara Pemilih atau Peserta Pemilu tidak berlakon layaknya keterpenuhan 2 (dua) unsur Pemilu yang demokratis tersebut. Klise. Memang terkesan klise, prasyarat dan syarat tersebut, karena mahfumnya faktor terjadinya Politik Uang tidak semata soal kontestasi politik kekuasan. Pemilu bisa jadi hanya sebuah memomentum saja, dalam konteks Politik Uang. Bisa jadi, Politik Uang sebagai satu diantara feedback dari kekecewaan, trauma janji, selain aji mumpung tentunya. Faktor latar belakang ekonomi terkini (saat perhelatan Pemilu diselenggarakan), rasanya susah diambaikan begitu saja, untuk tidak dianggap faktor yang berkontribusi terjadinya praktek Politik Uang. Apapun itu, dengan segala pembenarannya, Politik Uang adalah kejahatan serius bagi demokrasi. Ingat. Pemilu tanpa Politik Uang itu kebutuhan, bukan hanya sebatas keinginan.
Penulis :
Wahyu Epan Yudhistira (Ketua Bawaslu Beltim)