Lompat ke isi utama

Berita

“WANTI-WANTI” PILKADA SERENTAK TAHUN 2020 DI KABUPATEN BELITUNG TIMUR

Wanti-wanti, berasal dari bahasa Jawa yang berarti: “berpesan dengan sangat”. Dalam konteks tulisan ini, penulis kurang lebih ingin mencoba menyadarkan kita semua akan hal-hal realistis yang ada dan potensial ada, direlatif semua kontestasi kekuasan, termasuk Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Bupati dan Wakil Bupati Belitung Timur Tahun 2020 yang sudah didepan mata.

Kemenangan bisa jadi merupakan dambaan setiap orang. Sehingga dalam mewujudkan kemenangan tersebut, orang bisa saja melakukan sesuatu yang kurang pantas, ataupun tidak pantas dalam ukuran suatu tatanan yang telah menjadi kesepakatan antara semua komponen yang terlibat didalamnya dengan kata lain peraturan. Tentu, tingkat pengorbanan bersumbangsih atas agresifitas dari hal tersebut. Cuplikan ini bisa kita lihat pada pelaksanaan kampanye Peserta Pemilihan Umum (Pemilu) dengan beragam kemasannya pada Pemilu Tahun 2019 yang baru saja berlalu.

Kata – kata indah nan menjanjikan harapan, seperti yang pernah penulis dengar dari satu diantara beberapa kontestan pemilihan yaitu, pendidikan yang murah, bermutu dan merata, lapangan/ kesempatan kerja terbuka luas, sembako murah, saluran komunikasi pribadi yang siap 24 jam, mengedepankan kepentingan masyarakat dibandingkan kepentingan pribadi, serta banyak lagi janji maupun jargon politik lainnya yang tidak kalah dashyat, yang semuaya itu penulis akui begitu membuai dan sesuai dengan yang masyarakat dambakan selama ini.

Muara dari maksud dan tujuannya, yaitu menjadi pemenang termasuk di Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) nantinya, dan menjadi pemegang kekuasaan mayoritas pemerintahan di Kabupaten Belitung Timur. Program – program pemenangan yang sudah terencana dan terorganisasi sudah disiapkan sejak jauh hari, tinggal menunggu “hasil pemilihannya” saja. Kata “menang atau kalah“ yang menjadi jawaban yang ditunggu pada saat selesainya proses Perhitungan dan Rekapitulasi Suara ditiap tingkatan, yang bisa diterima dan diekspresikan secara berbeda – beda oleh setiap Pasangan Calon (Paslon) dan pendukungnya. Kalau pada akhirnya ternyata Paslon tersebut bisa memenangkan pemilu ataupun memperoleh suara terbesar/ terbanyak, penulis rasa bisa dipastikan Paslon tersebut terbuka kesempatannya untuk merealisasikan janji dan program yang pernah dilantangkannya kepada masyarakat saat kampanye.

Namun yang menjadi tanda tanya, dan menimbulkan kekhawatiran bagi penulis adalah ekspresi yang muncul dari Paslon dan pendukungnya,yang memperoleh suara yang tidak signifikan atau dengan kata lain “kalah“ di Pilkada nanti, terlepas apakah Paslon tersebut diusung dan didukung oleh  partai politk berkatagori partai besar atau partai kecil. Bisakah mereka (Paslon dan pendukungnya) menerima dan berbesar hati atas kekalahannya tanpa harus menyalahkan dan mempersoalkan kemenangan Paslon secara subyektif dan emosional. Bisa dan maukah Paslon yang kalah tersebut berkalaborasi menyatukan janji dan program yang bagus dan solutif yang disampaikan saat kampanye kepada Pemilih ataupun masyarakat?. Janji dan program yang memang bisa jadi jawaban pada kebaikkan dan kesejahteraan rakyat yang selama ini digembar–gemborkan diperjuangkan nasibnya kearah yang lebih baik tanpa mempersoalkan perbedaan platform politik diantara mereka (Paslon yang menang, dengan Paslon yang kalah).

Untuk diketahui, masyarakat sekarang sudah cukup kritis untuk bisa menilai secara obyektif, karena apapun perilaku yang dipertontonkan para elit politik yang kalah sekarang ini, bisa menjadi pertimbangan bagi masyarakat untuk Pemilihan yang akan datang.

Harapan penulis, mungkin juga harapan masyarakat pada umumnya kepada Paslon dan elit politik yang kalah untuk bisa mengendalikan massanya untuk menerima “belum menangnya” secara kesatria, sportif, dan tidak melakukan tindakan anarkis yang bisa menambah permasalahan dan konflik dinegeri ini, semua itu demi masyarakat, (sekali lagi) demi masyarakat.

Penulis mengutip percakapan seorang pesilat kepada muridnya sebelum muridnya tersebut turun gunung meninggalkan gurunya dari sebuah cerita silat yang pernah penulis baca, yaitu “kemenangan bukan berarti mendapatkan segalanya, begitu pula kekalahan bukan berarti kehilangan segalanya “ mungkin kata – kata tersebut patut menjadi renungan bagi Paslon dan elit partai politk yang akan berkompetisi nanti, dan kita semua.

Penulis : Wahyu Epan Yudhistira, 

Peminat Geoolitik Belitung Timur

Tag
Berita
PILKADA TAHUN 2020