Semerbak Politik di Tengah Pandemi, Pantaskah?
|
Sudut-sudut kota dan perkampungan Negeri Laskar Pelangi saat ini mulai dihiasi dengan poster-poster kampanye calon pemimpin daerah. Aroma pesta demokrasi perlahan menguar, meskipun pelaksanaannya masih jauh di bulan September nanti. Namun, sayang beribu sayang, pandemi virus corona yang tengah menguji bangsa Indonesia sepertinya mulai menenggelamkan semarak pilkada tahun ini. Masyarakat kini tak lagi dibuat waspada oleh semerbak janji kampanye politik, tetapi telah jauh beralih menjadi lebih waspada terhadap pandemi COVID-19
Belitung Timur memang tidak memiliki kasus COVID-19 separah Jakarta dan penyebarannnya relatif masih bisa dikendalikan. Namun, intruksi pemerintah dalam menggalakan Work From Home membuat roda perekonomian masyarakat kian merosot. Sehingga, banyak masyarakat, khususnya masyarakat kurang mampu, berada dalam bayang-bayang ketakutan antara menjaga diri dari virus corona atau mengais rezeki demi sesuap nasi. Tak jarang, banyak orang menengah ke atas maupun organisasi dan partai politik (parpol) ikut meringankan dampak corona dengan membagikan sejumlah bantuan. Seperti yang tertulis dalam Trawangnews.com (12/04/2020), DPD (Dewan Pengurus Daerah) PKS (Partai Keadilan Sejahtera) Kab. Beltim melakukan penyaluran sembako dan masker ke sejumlah titik di kawasan Belitung Timur.
Munculnya virus corona di Indonesia pada pertengahan Maret lalu, memang banyak memberikan pengaruh bagi seluruh aspek kehidupan, termasuklah kedalamnya pilkada yang digadang-gadang akan ditunda sampai beberapa waktu ke depan. Bukan ingin berburuk sangka, tetapi hal ini tentu bisa menjadi kesempatan emas bagi calon-calon petarung di pilkada nanti. Dalam situasi seperti ini, bukan tidak mudah bagi mereka untuk mendulang suara lewat bantuan musibah, terutama untuk masyarakat menengah ke bawah yang sedang berada di ujung tanduk perekonomian. Akhirnya, kampanye bertopeng bantuan kemanusiaan pun jadi pilihan yang menggiurkan.
Kampanye di tengah bencana nasional seperti ini tentu bukanlah hal terpuji. Seorang pemimpin sejati tentu tidak akan memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan, tetapi justru aura kepemimpinannya akan menuntun insting kepeduliannya keluar tanpa maksud pencitraan apapun. Tak pantas rasanya dalam kondisi masyarakat yang sedang lumpuh, seorang calon pemimpin muncul mencari simpati demi eksistensi. Sementara itu, calon masyarakatnya sendiri jauh lebih membutuhkan rasa simpati tersebut. Para calon pemimpin tersebut tentu menyadari, bahwa dalam situasi seperti ini, yang terpenting adalah mengeratkan gandengan untuk membantu sesama murni sebagai sumbangsih, amal, dan atas nama kemanusiaan, bukannya hanya sebagai pencitraan ingin dikenal saja.
Berkaitan dengan hal tersebut, peran Bawaslu (Badan Pengawas Pemilu) memiliki andil yang cukup besar dalam mencegah hal ini terjadi. Ditinjau dari sisi sosial, hal seperti ini dapat memecah masyarakat yang sedang berada pada kondisi chaos menjadi terpecah karena bantuan parpol A ataupun parpol-parpol lainnya. Tidak hanya itu saja, dilihat dari sisi hukum, penyertaan atribut politik dalam bantuan kemanusiaan dilarang oleh KPU lantaran bukan bagian dari metode kampanye yang diperbolehkan. Oleh karenanya, Bawaslu harus memastikan bahwa bantuan yang diberikan tidak termasuk dalam politik uang. Melansir dari laman Wikipedia (24/04/2020), politik uang itu sendiri termasuklah kedalamnya pemberian berbentuk uang dan sembako dengan tujuan untuk menarik simpati masyarakat agar mereka memberikan suaranya untuk partai yang bersangkutan.
Politik uang ini tentu akan mengurangi makna demokrasi dalam pilkada, karena money politics tersebut justru mencederai asas demokrasi LUBER JURDIL di Indonesia. Jangan sampai masyarakat mudah tertipu dengan bantuan tak seberapa yang mengatasnamakan kepedulian sesama. Masa depan suatu daerah tak pantas rasanya jika harus digadaikan dengan fenomena politik uang yang dikemas cantik dalam rasa iba dan janji-janji manis. Oleh karena itu, KPU bersama Bawaslu tidak hanya harus mengawasi dari segi parpolnya saja, tetapi juga sebaiknya gencar melakukan edukasi kepada masyarakat mengenai bahaya politik uang, baik itu melalui sosialisasi online, video singkat ataupun pamflet dan spanduk di kawasan publik. KPU dan Bawaslu juga harus senantiasa mengingatkan bahwa dalam UU Pilkada Nomor 10 Tahun 2016 pasal 187A, pelaku dan penerima politik uang dapat dipidana.
Daripada menempuh jalan kampanye yang tidak sepantasnya, calon pemimpin daerah yang bertarung di pilkada 2020 nanti bisa memanfaatkan technopolitik, yaitu peleburan teknologi dengan politik sebagai implementasi revolusi industri 4.0. Platform digital seperti instagram, facebook, hingga youtube bisa menjadi pilihan calon pemimpin daerah sebagai ajang tampil di tengah pandemi seperti ini. Cara unik seperti ini tentu memberikan peluang besar untuk mendapatkan suara, terutama dari generasi milenial. Dengan tetap mengindahkan himbauan physical distancing dan tidak memanfaatkan kesulitan demi kemenangan, para calon pemimpin daerah bisa menggaungkan kampanye online dengan tetap memperhatikan aturan yang telah ditetapkan oleh KPU. Oleh karena itu, mereka tetap dapat menyampaikan visi, misi, dan program kerja tanpa merugikan siapapun. Pilkada memang merupakan salah satu momen penting bagi sebuah daerah, karena ini berkaitan dengan kelangsungan roda kehidupan suatu daerah di bawah kepemimpinan seseorang selama lima tahun ke depan. Tetapi, siapa yang bisa merencanakan datangnya corona dan akibat yang ditimbulkannya. Mau tidak mau pemerintah harus memfokuskan perhatiannya kepada kesehatan dan keselamatan jiwa masyarakat. Para calon petarung pilkada tentunya juga harus turut ambil bagian. Jangan memanfaatkan kesulitan sebagai ajang tampil untuk mencari perhatian, tetapi justru harus ikut mengulurkan tangan atas dasar kemanusiaan.
Ditulis oleh : Zahra Hafizha Rahma
(Karya Tulis kategori Terbaik tingkat Sekolah pada kegiatan #NulisDiRumahAja)